Kartun Benny & Mice: Meledek Gaya Hidup Snob


Jakarta luar dalem? Pilihan ini sungguh menggelitik. Melihat Jakarta dari luar, apa susahnya? Bahasa candanya, nenek-nenek juga bisa. Namun, melihat Jakarta di bagian dalem? Ini sungguh pekerjaan menantang dan tidak sembarang orang mampu melakukannya.

Apalagi cara melihat yang dilakukan oleh dua kartunis Benny dan Misrad tidak sekadar menatap dengan mata melotot dan mulut “manyun”, tetapi seperti layaknya kerja para jurnalis, fotografer, dan sekaligus karikaturis.
Sebagai jurnalis, mereka mencatat berbagai gejala atau fenomena yang menonjol di isi perut Jakarta; sebagai fotografer, mereka mengabadikan secara visual obyek-obyek otentik yang terkait dengan fenomena (dipakai untuk rujukan gambar kartun); dan sebagai karikaturis, mereka harus mampu ceriwis mengusili fenomena dengan sentakan humor-humornya yang segar dan khas lewat dua tokoh kartun yang bernama Benny dan Mice.


Kerja bareng dua kartunis yang kompak dan tali-temali ini sungguh luar biasa. Setiap minggu, sejak empat tahun lalu, mereka rutin mengisi rubrik kartun bertajuk Benny & Mice di Kompas Minggu. Pilihan-pilihan tema, sudut pandang dan struktur cerita, sejauh pengamatan saya, selalu baru dan beda.

Seandainya ada pengulangan tema atau sudut pandang, itu karena alasan hangat dan kuatnya radar aktualitas atas tema-tema dan sudut pandang yang terjadi pada masa penyajian kartun. Meskipun begitu, tanggung jawab mereka untuk selalu tampil kreatif, mereka buktikan dengan tidak melakukan repetisi ide atas tema dan struktur cerita yang mereka sajikan.

Voltase gerrr
Akan tetapi, satu hal yang tak dapat dielakkan adalah fakta bahwa voltase gerrr yang muncul dari setiap tawaran/gagasan mereka, tak selalu ajek; kadang kuat, kadang lemah, jadi fluktuatif, dan sangat bergantung pada kondisi atau situasi tertentu.

Ini konsekuensi logis pilihan isinya terkait dengan masalah tren, mode, fenomena yang sedang in namun rentan perubahan. Kalau kemudian kartun-kartun yang semula disiapkan untuk sesuatu yang berbau jurnalistik, hangat, dan aktual tetap dapat “berbunyi” kendati telah melewati ruang dan waktu berbeda, itu semata karena si kartunisnya lihai dalam memilih pendekatan. Kesan fenomena yang sebenarnya temporer dan terbatas itu justru terasa seolah-olah universal. Seolah-olah melibatkan emosi publik luas.

Kekhawatiran yang acapkali terjadi ketika sebuah rubrik kartun rutin di sebuah media yang kemudian dibukukan adalah hadirnya rasa datar karena bentuk lay out, teknik penyajian, dan lain-lain, performance yang cenderung diulang-ulang, ternyata di kumpulan kartun Benny & Mice hal itu tidak terjadi.

Setidaknya, dua kartunis yang pernah menggarap seri Lagak Jakarta hingga enam judul ini sudah sangat prepared. Bahwa kartun mereka yang dimuat di Kompas, bukan tidak mungkin pada suatu saat berlanjut diterbitkan dalam bentuk buku; maka, entah sengaja atau tidak, terdapat cukup banyak varian lay out dan penyajian (khususnya proporsi gambar tokoh yang kadang tampak jauh, menengah, dan dekat-dalam istilah sinematografi: long shot, medium shot, dan close up); sehingga ketika potongan-potongan sajian ini dikumpulkan dalam bentuk buku, terjadi suasana yang tidak flat, datar, dan menjemukan. Bahkan dengan adanya pilihan tema dan pendekatan yang bervariasi dari sang kartunis, kita serasa dibawa ke rekreasi optis-dibawa bertamasya dari situasi yang sarat kekonyolan satu ke situasi yang lain.

Rela “Capek”
Kerja dua kartunis yang saya anggap luar biasa adalah kesabaran dan kemauan mereka untuk rela “capek”; mau menyajikan detail setting secara serius. Banyak kartunis kita yang suka menghindar dari sulitnya menyajikan factual set dan detail obyek di mana si tokoh berada.
Bukan tak mungkin, keberhasilan komunikasi kartun Benny & Mice di antaranya karena proses kreatifnya ditunjang oleh tradisi riset (literatur maupun on the spot terjun ke lapangan). Mereka tak asal-asalan menyajikan mesin ATM, mesin hitung kasir di toko swalayan, interior mobil yang memakai LCD TV, hingga lalu lintas yang ruwet dan terkunci.

Pilihan redaksi yang membagi bab dalam buku kumpulan kartun berdasarkan kesamaan tema, di satu hal, memang memudahkan pembaca untuk memilih dan memulai; namun risiko lainnya juga ada; yakni kemungkinan tergiringnya pembaca ke situasi yang menjebak; yakni situasi yang datar tadi.

Salah satu contoh bab tentang: Trend dan Mode. Dalam bab ini, kalau kita cermati, kita jadi menemukan “modus operandi” si kartunis dalam menyajikan gagasannya. Padahal, “modus operandi” atau rahasia resep dalam menciptakan “masakan” yang oke itu tak layak kalau sampai kecolongan pihak lain.

Kita lihat misalnya bab tentang Trend dan Mode dari halaman 2 hingga 30, nyaris si kartunis memakai jurus atawa “modus operandi” dengan menyajikan Si Benny dan Si Mice jalan-jalan, mereka lalu melihat orang-orang lagi mejeng sesuai dengan tren dan mode terbaru, pada akhirnya, arena-entah kritis atau sirik-Benny dan Mice bersikap tak mau kalah. Mereka berusaha keras untuk menjadi makhluk modis kendati untuk itu harus melakukan kekonyolan-kekonyolan.

Salah satu yang cukup menyentak adalah saat musim flash disk dikalungkan di leher, Benny dan Mice “menghantam” kegenitan itu dengan mengalungkan hardisk ke leher sendiri. Motif serupa juga tampak saat mereka mengangkat topik gigi berkawat, stiker mobil kena tembak, celana ketat bawah, tarif seluler murah, video phone, dan lain-lain.
Secara substansi ide-idenya menarik, tetapi karena berdekatan, tampak seakan sebuah repetisi.

Ada tawa ada renungan
Membaca lengkap kumpulan kartun dua kartunis ini, kita dibawa masuk ke dalam renungan-renungan. Ketawa, iya sudah pasti. Namun, tidak cukup berhenti di tawa; kartun-kartun Benny & Mice, menyeret kita untuk ikut berpikir. Tentang berpikir ini sudah tentu sesuai dengan relevansi kita masing-masing.

Gagasan-gagasan yang di-”tembak”-kan dua kartunis ini berfungsi sebagai stimulus yang akan merangsang perasaan intelektual pembacanya masuk ke dalam renungan-renungan; renungan yang sungguh berbeda dan mengasyikkan. Karena sesekali ia dapat membuat kita malu melihat diri kita sendiri.

Sikap yang ditampilkan dua tokoh kartun yang bernama Benny dan Mice itu sepertinya mewakili sikap kelompok masyarakat tertentu yang ada di Jakarta, sepertinya. Namun bisa juga tidak mewakili siapa-siapa. Namanya saja dunia ide. Karya cipta, rekaan.

Akan tetapi, bila kenyataan yang terjadi dalam proses kreatif lain, sungguh fakta ini cukup mencemaskan dan mendebarkan. Mencemaskan, kalau benar mereka ada; bagaimana mungkin, mereka adalah korban doktrin berhala kehormatan dan eksistensi yang bernama mode atau tren. Korban kasak-kusuk iklan. Bujuk rayu “kapitalisme” yang seolah dapat mengantarkan masyarakat Jakarta, atau bahkan masyarakat Indonesia, masuk ke dalam pintu gerbang eksistensi lewat aksi yang bernama membeli. Ya, membeli apa saja yang ditawarkan tanpa harus berpikir benda yang kita beli itu bermanfaat atau tidak.

Sikap tak mau kalah dua tokoh kartun ini dan jalan solusi yang dipilih untuk memberi pelajaran pada orang-orang snob seperti menggambarkan peta “pertarungan” pola pikir masyarakat kita yang sebenarnya rasional tetapi tak berdaya, melawan gempuran iklan yang tak kunjung lelah dan kapok. Pada akhirnya, iklan yang terus-menerus hadir dan dirancang sedemikian efektif adalah juga sebuah doktrin yang dapat memengaruhi, bukan saja pandangan hidup tetapi juga pilihan hidup seseorang.

Dalam kekalahan atau kemenangannya, dalam ketidakberdayaan atau keluguannya, mereka tetap berani menghadapi gempuran-gempuran yang terus-menerus meneror mereka. Benny dan Mice bukan menyerah atau menggampangkan persoalan, mereka justru tampil dengan inspirasi-inspirasinya yang tak terduga; bahkan, perkasa. Ini semboyan mereka yang tak gampang menyerah: silver bird atau bajaj. town house atau kontrakan. tuna sandwich atau taoge goreng. senang. susah.
life goes on..!

http://kartunindonesia.blogspot.com/2010/06/kartun-benny-mice-meledek-gaya-hidup.html

Perjalanan Animasi Indonesia

Berikut ini merupakan perjalanan Animasi Di Indonesia.

Awalnya Untuk Kepentingan Politik
Sejak tahun 1933 di Indonesia banyak koran lokal yang memuat iklan Walt Disney. kemudian Pada Tahun 1955 Presiden Soekarno yang sangat menghargai seni mengirim seorang seniman bernama Dukut Hendronoto (pak Ook) untuk belajar animasi di studio Walt Disney, setelah tiga bulan ia kembali ke Indonesia dan membuat film animasi pertama bernama Si Doel Memilih animasi ini awalnya di buat untuk tujuan kampanye politik. Lalu pada tahun 1963 Ook hijrah ke TVRI dan mengembangkan animasi di sana dalam salah satu program namun kemudian program itu dilarang karena dianggap terlalu konsumtif.

ERA 70-an
Pada tahun 70-an terdapat studio animasi di Jakarta bernama Anima Indah yang didirikan oleh seorang warga Amerika. Anima Indah termasuk yang mempelopori animasi di Indonesia karena menyekolahkan krunya di Inggris, Jepang,Amerika dan lain-lain. Anima berkembang dengan baik namun hanya berkembang di bidang periklanan. Di tahun 70-an banyak film yang menggunakan kamera seluloid 8mm, maraknya penggunaan kamera untuk membuat film tersebut, akhirnya menjadi penggagas adanya festival film. di festival film itu juga ada beberapa film animasi Batu Setahun, Trondolo, Timun Mas yang disutradarai Suryadi alias Pak Raden (animator Indonesia Pertama).

Era 80-an
Tahun Yang ditandai sebagai tahun maraknya animasi Indonesia Ada film animasi rimba si anak angkasa yang disutradarai Wagiono Sunarto dan dibuat atas kolaborasiualangan si Huma yang diproduksi oleh PPFN dan merupakan animasi untuk serial TV. beberapa animator lokal. ada juga film animasi PetEra tahun 1980-1990-an ditandai dengan lahirnya beberapa studio animasi seperti Asiana Wang Animation bekerjasama dengan Wang Fim Animation, Evergreen,Marsa Juwita Indah, Red Rocket Animation Studio di Bandung, Bening Studio di Yogyakarta dan Tegal Kartun di Tegal

Era 90-an
Di tahun ini bertaburan dengan berbagai film animasi diantaranya Legenda Buriswara, Nariswandi Piliang,Satria Nusantara yang kala itu masih menggunakan kamera film seluloid 35mm, kemudian ada serial Hela,Heli,Helo yang merupakan film animasi 3D pertama yang di buat di Surabaya, Tahun 1998 mulai bermunculan film-film animasi yang berbasis cerita rakyat seperti Bawang Merah dan Bawang Putih, Timun Mas dan petualangan si Kancil di Era 90-an ini banyak terdapat animator lokal yang menggarap animasi terkenal dari jepang seperti Doraemon dan Pocket Monster

Era 2000-an
Diantara sekian banyak studio animasi di Indonesia, Red Rocket Animation termasuk yang paling produktif. Pada tahun 2000 Red Rocket memproduksi beberapa serial animasi TV seperti Dongeng Aku dan Kau, Klilip dan Puteri Rembulan, Mengapa Domba Bertanduk dan Berbuntut Pendek, Si Kurus dan Si Macan, pada masa ini serial animasi cukup populer karena menggabungkan 2D animasi dengan 3D animasi.Pada tahun 2003, serial 3D animasi merambah layar lebar diantaranya Janus Perajurit Terakhir, menyusul kemudian bulan Mei 2004 terdapat film layar lebar 3D animasi berdurasi panjang yaitu Homeland.

Disunting dari Majalah CONCEPT.Vol04.Ed.22.2008